Noktah Pasir Putih
Oleh : Dea Ajeng Pratiwi
Jika
anda berjiwa petualang, yang senang menjelajahi alam, menikmati setiap desir
angin lembut yang menggoyangkan ikal rambut, dan menghirup nikmatnya udara
segar hutan perawan, maka, selain pegunungan, yang wajib dikunjungi adalah
Tanam Nasional. Tanam Nasional yang memang secara resmi di lindungi oleh
Negara, yang merupakan kawasan konservasi, yaitu tempat paling nyaman bagi
satwa-satwa liar dari yang jumlah populasinya masih banyak sampai hampir punah.
Salah satunya adalah Tanam Nasional Ujung Kulon yang terletak di ujung barat
Pulau Jawa, Provinsi Banten. Di sini, terdapat fauna yang hampir punah, yaitu
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)
adalah spesies yang sangat langka dan unik. Dengan penyebaran yang sangat
terbatas, saat ini Badak Jawa hanya berada di Taman Nasional Ujung Kulon dan
Tanam Nasional Cat Tien Vietnam. Diantara spesies badak di dunia, Badak Jawa
merupakan spesies yang paling terancam punah karena jumlah populasi yang kecil
dan penyebaranya yang terbatas (BTNUK 1992).
Menurut
Mackinnon at all. (1992) Kawasan ini
merupakan Taman nasional yang indah dan unik, terletak di ujung barat Pulau
Jawa. Wilayahnya meliputi hutan rawa datar yang luas, dengan dua gunung kecil
tertutup hutan hujan tropis yang sangat bagus, dengan beberapa padang rumput
pengembalaan, belukar pantai pesisir, karang yang sangat terjal, serta beberapa
pulau lepas pantai. Taman Nasional ini dapat dicapai dari Pelabuhan Labuan,
dengan perahu atau berjalan kaki ke markas besar Taman Jaya, atau dengan perahu
ke pos peristrirahatan di Pulau Handeuleum dan Pulau Peucang.
Bukan
hanya Badak Jawa kawan, masih banyak segudang keindahan alam yang Tuhan berikan
pada Taman Nasiona Ujung Kulon ini, apa sajakah itu ? ikuti perjalanan singkat
saya dan tim Ekspedisi Global 2014 selama 17 hari di TNUK.
Siapa
yang tidak mengenal Ujung kulon ?, dengan keunikan alam, satwa, dan pantainya,
jangankan turis domestik, turis asing pun banyak yang mengunjunginya. Selama 17
hari, saya dan tim Ekspedisi Global 2014, menjelajahi beberapa tempat di
kawasan TNUK. Pertama kami mengunjungi Legon Pakis, ini adalah perkampungan
warga yang termasuk ke dalam kawasan konservasi, banyak hal yang dapat kita ungkap
di kampung yang serba sederhana dan sangat menawan ini. di kampung Legon pakis
ini, kita hanya singgah semalam, tepatnya di rumah Pak Sorhim, guide yang
senantiasa setia menemani perjalanan Ekspedisi Global selama delapan tahun
berturut-turut. Sayangnya kali ini, pak Sorhim tidak dapat menemani kami, tim
Ekspedisi Global 2014, karena kepentingan lain, tetapi kami ditemani oleh guide
yang tidak kalah serunya, yaitu pak Sarian dan pak Sumardi, mereka berdualah
yang memandu kami dari awal sampai akhir.
Keesokan harinya, kami bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju
Karang Ranjang. Karang Ranjang merupakan tempat terbaik, dimana kita akan
melewati pantai utara menuju pantai selatan. Perbedaannya terlihat menakjubkan,
dimana pantai utara yang tenang, ombak berlabuh dengan santai dan desir angin
yang menyejukan, sedangkan pantai selatan terlihat lebih menantang, pasir putih
nan ayu, ombak yang menggulung tinggi dan angin yang menderu kencang, sensasi
ini dapat anda rasakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan, bayangkan jarak
dari pantai selatan karang ranjang dengan pantai utara, cukup anda tempuh dalam
jarak 1,2 KM saja, menuju laban, anda sudah dapat merasakan pantai utara yang
tenang. Selama perjalanan, vegetasi yang terlihat adalah hutan pantai, dimana,
pada daerah ini didominansi oleh pohon-pohon kelapa, hutan magrov, dan beberapa
liana. Sepanjang perjalanan, kami disambut oleh lantunan indah suara
burung-burung semak, dan burung takur, yang paling terdengar jelas adalah Takur
Tenggeret (Megalamia australis). Bukan
hanya itu saja, sepasang elang ular bido (Spilornis
cheela) pun soaring mengucapkan selamat datang kepada tim Ekspedisi Global
2014, wah senangnya.
Hampir selama
tiga jam dengan berjalan kaki, Legon Pakis- Karang ranjang berhasil kami
tempuh, walaupun beban carrier kami lumayang berat, untuk logistik selama 17
hari. Ketika sampai, suara deburan ombak pantai selatan terdengar kencang,
bahkan sebelum kita mencapai resort Karang ranjang. Jarak dari resort tempat
kami camp dengan pantai kurang lebih 10 meter saja, sehingga jika waktu
senggang, kami sering menyempatkan untuk bersantai menikmati keindahan pasir
putih nan ayu dan tingginya gulungan
ombak yang menantang. Selama empat hari tiga malam, kami menginap di resort
karang ranjang, dua hari untuk pengamatan, satu hari untuk perjalanan menuju
camp berikutnya. Ada empat jalur yang digunakan untuk pengamatan, yaitu jalur
laban, jalur ini mengarah ke pantai utara, dengan jarak 1.2 Km saja, jalur yang
kedua yaitu jalur kalajetan, jalur ini, menyusuri pantai selatan, dengan
vegetasi hutan pantai, sepanjang 1.4 Km saja, yang berujung di kawasan batu
karang. Jalur ketiga yaitu legon pakis, jalur ini panjangnya sekitar 2 Km. dan
yang terakhir adalah jalur cibandawoh, jalur yang vegetasinya hampir sama dengan
jalur kalajetan, yaitu hutan pantai. Selama pengamatan masing-masing divisi
sudah berhasil mengamati banyak fauna, seperti divisi saya, yaitu divisi
konservasi burung yang berhasil mengamati 40 jenis burung di dua jalur
pengamatan dengan dua kali pengulangan.
Burung yang
kami temui sangat beragam, mulai dari burung-burung kecil hingga yang besar,
seperti burung Cabai Bunga Api (Dicaeum trigonostima), Pijantung Kecil (Arachnosthera longirostra), sampai
dengan burung besar seperti Rangkong Badak (Buceros
rhinoceros), Kangkareng Perut putih (Aceros
undulatus), dan Julang Emas (Anthracoceros
albirostris). Burung-burung tersebut kami temui di jalur laban dan jalur
legon pakis. Akan tetapi ada satu pengalaman yang sangat menarik yang saya
alami, yaitu ketika pengamatan di jalur laban, saya beberapa kali berpapasan
dengan babi hutan, sensasinya sangat keren, antara ketakutan dan ingin lari,
tetapi saya juga penasaran dengan mahluk bertaring tersebut. Selain divisi
konservasi burung (DKB), divisi lainpun banyak menemukan jejak mamalia (DKH,
DKK, dan DKE) kemudian reptil dan ampibi(DKRA), beragam insekta (DKI), primata
(DKP), juga fauna perairan seperti alga dan kima (DKFP). Eit, tunggu itu baru
sat tempat, hari keempat, pagi, sekitar jam 07.00 kami melanjutkan perjalanan
menuju Cibunar, dengan jalur cibandawoh kemudian sejauh 14 Km kami menyusuri
pantai selatan.
Menyusuri
pantai selatan dengan terik matahari yang menemani perjalanan kami, tidak
menyurutkan semangat tim Ekspedisi Global 2014, meskipun beban logistik sangat
erat menempel di punggung kami, akan tetapi saya dan kawan-kawan menjalaninya
dengan santai dan rileks. Bahkan sepanjang menyusuri pantai saya bernyanyi
bersama tanpa rasa lelah, jika kami mulai capai, maka kami akan beristirahat
sambil memandangi gulungan ombak yang menerjang pasir putih. Sesekali kami
sempatkan untuk minum dan membuka makanan ringan sebagai cemilan. Pantai yang
masih bersih dan ayu ini membuat saya tergakum akan kehebatan-Nya yang begitu
luar biasa tak terhingga, tetapi sayang, dipinggir-pinggir pantai ini terdapat
banyak sekali sampah yang terseret arus, mulai dari botol-botol air mineral,
serpihan kaca, bongkahan kayu, hingga ratusan pasang sandal dan sepatu yang
berwarna-warni. Kagum, melihat betapa indah alam ini, tetapi miris dan ironi,
karena kebiasaan buruk kita yang membuang sampah sembarangan, dan beginilah
hasilnya, kita memang tidak melihatnya lagi di sekitar rumah kita sampah-sampah
tersebut, akan tetapi ia bersarang di tepi pantai-pantai yang seharusnya tak
terjamah oleh noktah hitam yang mengerikan. Kadang terbisit dalam benak saya,
bagaimana caranya membersihkan sepanjang pantai ini dari ribuan sampah plastik,
tetapi percuma saja, jika kita masih membuang sampah ke sungai, yang bermuara
di laut, dan akhirnya kembali kedaratan bukan ?. maka dari itu, sebagai warga
bumi yang baik, sudah sepatutnya kita bersikap dewasa akan masalah sampah ini,
bukan hanya kita yang ingin merasakan kenyamanan, tetapi hewan dan
tumbuhanpun juga perlu kenyamanan.
Sampai di
cibunar, kami harus menyebrangi padang pengembala di tepi karang-karangan,
padang pengembalaan ini biasanya tempat pengamatan divisi konservasi Herbivor,
entah itu rusa, banteng, babi dan mamalia lainya. Macanpun kerap,berkunjung ke
padang pengembalaan untuk memangsa banteng ataupun herbivore lainya. kemudian
menyebrangi muara dan selamat datang di resort cibunar. Terbayar lunas
kelelahan kami menelusup hutan dan menyusuri pantai dengan keindahan alam di
resort cibunar, post kecil yang baru saja di renovasi ini, berada tepat di
depan karang yang di deru ombak besar dengan angin laut yang kencang. Tamannya tidak
terlalu luas, terdapat ayunan dan bale-bale yang menghadap ke laut, “The Best
Place for Galau Mode On”. Sewaktu di karang ranjang semua orang sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing, akan tetapi di cibunar semua orang mempunyai waktu
yang luang untuk berlama-lama memandangi deburan ombak dan menikmati hempasan
angin yang menampar tubuh. Saya rasa cibunar ini menghipnotis kami dalam
kegalauan maksimal, semua keadaanya begitu mendukung kami untuk berlama-lama
menikamti keindahan tuhan. Hebatnya lagi, kawan kami, Mas Nangkembon dan Uus,
menyusul langsung dari legon pakis menuju cibunar, saya sangat salut dengan
kekuatan kaki mereka. Mereka terpaksa menyusul dikarenakan kepentingan lain
yang tak bisa mereka tunda.
Berbeda
dengan karang ranjang, di cibunar kami hanya memakai dua jalur pengamatan saja,
yaitu jalur sanghyang sirah dan jalur cidaon. Di jalur sanghyang sirah, medanya
berbukit-bukit, dan tanjakan yang curam, hanya sedikit dataran, selebihnya
adalah tanjankan. panjang transek hanya mencapai 1.5 Km saja. Vegetasi jalur
sanghyang sirah didominansi oleh liana dan langkap, beberapa pohon besar dan tutupan
hutan yang tidak terlalu rapat. Sedangkan jalur pengamatan cidaon medannya
datar, dengan vegetasi semak yang cukup rapat, liana dan langkap serta
pepohonan besar yang lebih rapat dari sanghyang sirah. Di jalur sanghyang sirah
perjumpaan dengan fauna, entah itu burung ataupun mamalia dan lainya, jarang
sekali. Hanya beberapa suara burung-burung semak, seperti pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), keluarga cucak.
rangkong badak dan julang emas kerap kali terbang berkelompok diatas jalur
pengamatan sanghyang sirah. Gesekan udara dan bulu-bulu sayapnya yang kasar
menimbulkan bunyi yang sangat khas, seperti bunyi helicopter, hal ini
dikarenakan burung-burung besar seperti rangkong badak, julang emas dan
kangkareng perut putih, belum mempunyai bulu-bulu halus pada sayapnya untuk
meredam gesekan dengan udara. Meskipun demikian, kami kerap kali berpapasan
dengan para peziarah yang akan mengnjungi goa sanghyang sirah, mereka, baik tua
maupun muda menempuh jalur ini dengan semangat.
Ada cerita
menarik mengenai sanghyang sirah, konon katanya sanghyang sirah ini merupakan
tempat bersemayamnya Raden Adnan, yang merupakan anak dari prabu siliwangi,
yang telah memeluk agama islam. Diceritakan bahwa sang Raden Adnan berguru pada
Sunan Gunung jati, dalam mempelajari agama islam. Tetapi menurut sesepuh di
legon pakis, di sanghyang sirah, tidak terdapat makan siapapun, hanya terdapat
arca Bima, Semar, Dawala, dan Astrajingga dan dua alirang sungai yang menarik,
yaitu aliran air sungai yang bersih dan yang kotor meskipun begitu, aliran
sungai tersebut tidak pernah bercampur, tetapi berdampingan, seperti ying dan
yang. Terlepas dari mitos-mitos yang beredar, ziarah tujuan sebenarnya adalah
mendoakan yang terbaik kepada Alloh, asalkan bukan untuk meminta sesuatu yang
bukan-bukan kepada makam ataupun benda-benda yang dikeramatkan, itu menjadikan
syirik.
Jalur pengamatan cidaon, lebih sering perjumpaanya dengan satwa,
seperti burung Gagak hutan (Corvus enca),
Srigunting Batu (Dicrurus paradiseus),
bahkan si cantik bersuara merdu Tiong Emas (Gracula
religiosa). Bukan hanya burung saja, banyak terdapat jejak kaki, seperti
jejak babi, jejak banteng dan jejak badak jawa. Jejak badak jawa ini tampak
terlihat segar, ketika pagi hari pada pengamatan hari kedua. Diperkirakan sang
badak, melewati jalur cidaon menuju padang pegembalaan ketika subuh, karena
malamnya hujan turun dengan lebat, sehingga jejak kaki badak tercetak di tanah
dengan jelasnya. Sekitar HM 7, terdapat persimpangan, menuju padang
pengembalaan, dan menuju jalur cidaon. Divisi saya, yaitu burung, memilih jalur
menuju padang pengembalaan, untuk mengamati merak hijau. Tetapi sayang di hari
pertama pengamatan cuacanya tidak terlalu baik, awan mendung daan hujan tak mau
berhenti sampai sekitar jam 10 siang. Akhirnya kami hanya sedikit menjumpai
satwa, karena merekapun sedang sibuk berlindung dari derasnya air hujan. Tetapi
di hari kedua, cuacanya mulai membaik, meskipun setiap malam hujan tetap
mengguyur daerah cibunar dengan lebatnya.
Di hari kedua, DKB kembali menyusuri jalur pengamatan cidaon, dan
hasilnya lumayan, kami menjumpai banyak burung, seperti meninting besar (Enicurus leschenaulti), raja udang
meninting (Alcedo meninting), raja
udang punggung merah (Ceyx rufidorsa),
cekakak sungai (Todirhamplus chluris),
punai pengantin (Treron griseicauda),
dan masih banyak lagi. Di padang pengembalaan kami menemukan banyak sekali
bongkahan tulang-belulang, diperkirakan tulang dari banteng ataupun rusa yang
menjadi mangsa dari sang macan. Terdapat elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster) yang sedang di
ganggu oleh gagak hutan ketika kami hendak pulang menuju camp. Sayang sekali,
hanya empat hari di cibunar rasanya terlalu cepat, malam terakhir cerah sekali,
dengan bermandikan cahaya bulan purnama kami semua menikmati indahnya spot
galau terbaik sedunia, karena keesokan harinya, kami harus segera beriap-siap
menuju tempat terakhir yaitu cidaon.
Perjalanan menuju cidaon dirasa tidak terlalu berat, karena logistik
yang kami bawa sudah hampir menipis, sehingga beban di punggung tidak seberat
ketika kami berangkat menuju karang ranjang dan cibunar. Tetapi perjalanan yang
memakan waktu kurang lebih 4 sampai 5 jam ini lumayan melelahkan, karena di
tengah-tengah perjalanan, medan yang tdainya datar-datar saja, tiba-tiba
berubah menjadi tanjakan yang lumayan curam dan melelahkan. Meskipun tidak
seekstrim jalur sanhyang sirah, akan tetapi lumayan menguras tenaga kami.
Untungnya hanya beberapa kali tanjakan dan turunan saja, kami kembali
menelusuri hutan dengan medan yang datar, dan melewati beberapa aliran sungai.
Akhirnya kami sampai di camp terakhir yaitu cidaon. Di cidaon camp kami tidak
terlalu dekat dengan pantai seperti cibunar, sekitar 500 sampai 700 meter
menuju bibir pantai dari camp. Cidaon termasuk daerah pantai utara, ombaknya
yang tenang dengan angin yang lembut, membuat kami menikmati setiap sore
sehabis pengamatan di tepi dermaga, Suasanya begitu tenang.
Cidaon,
terdapat tiga jalur pengamatan, yaitu jalur pengamatan menuju cibunar, jalur
pengamatan cibom dan jalur pengamatan susur pantai. Di jalur pengamatan cibunar
kami memasang transek sampai 2 Km, akan tetapi DKB hanya menggunakan 1 Km saja,
sayang sekali di jalur ini sangat minim perjumpaanya dengan satwa, divisi saya
hanya menemukan burung-burung takur, seperti takur tenggeret (Megalamia australis), dan takur
tulumtumpuk (Megalamia javensis),
kelaurga cucak (Phygnonotidae), dan
keluarga Bucerotidae seperti kelompok
julang emas (Anthracoceros albirostris),
kangkareng perut putih (Aceros undulates),
dan rangkong badak (Buceros
rhinoceros) yang keseluruhan perjumpaanya ketika mereka terbang. Sedangkan
jalur cibom, yang menurut saya lumayan banyak perjumpaan dengan satwa meskipun
kebanyakan teridentifikasi melalui suara seperti Empuloh janggut (Alophoixus bres), cucak Kuning (Pygnonotus melanicterus), sepasang
burung madu sepah raja (Aethopyga
siparaja), sepertinya burung madu sepah raja jantan ini tengah menggoda
betina, terlihat dari gerak-geriknya yang mencoba menarik perhatian sang
betina, wah tampaknya sedang musim kawin. pada jalur cibom kami mendengar suara
tiong emas (Gracula religiosa) yang
merdu, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya itu saja, yang menarik dari jalur cibom ini kami
menemukan tapak badak yang baru saja melintas dan di ujung transek kami juga
mengunjungi kuburan badak, menurut pak sumardi selaku guide, sekitar 3 sampai 4
bulan yang lalu, ia menemukan mayat badak di tepi pantai yang sudah setengah
membusuk, dan berbau tajam. Dengan hebatnya pak sumardi menyeret bangkai badak
itu sekitar 6 sampai 7 meter dari bibir pantai agar bisa menguburkannya lebih
dalam. Akan tetapi saat ini tulang-belulang dari badak tersebut telah
dikirimkan ke deparetemen kehutanan di Jakarta, guna mengantisipasi adanya
pencurian oleh para pemburu nakal, dan dijadikan sebagai bahan penelitian lebih
lanjut. Mengapa jalur ini bernama cibom ? ternyata terdapat sejarah yang
menarik di balik penamaan jalur cibom ini, sewaktu jaman penjajahan belanda, pada jalur ini terdapat
gudang yang berisikan amunisi bom-bom yang siap dipakai untuk perang, sampai
saat ini warga legon pakis dan sekitarnya masih mempercayai bahwa gudang bom
itu sewaktu-waktu dapat meledakan ujung kulon.
Jalur yang
terakhir adalah jalur pengamatan susur pantai, jalur ini mengarah menuju muara,
panjang transek hanya 1.2 km saja. Dimuara ini terdapat penghuni berbahaya,
yaitu buaya muara, yang berbadan kecil, dan bermocong panjang. Sepanjang jalur
susur pantai, DKB berhasil menemukan beberapa jenis burung yang belum pernah
ditemui pada tahun-tahun penelitian sebelumnya yaitu burung Pelatuk Hijau (Picus vittatus), pekaka emas (Pelargopsis capensis) yang sedang
terbang, kelompok wallet linci (Collocalia
linchi), sepasang cucak kuning (Pycnonotus
melanicterus), beberapa layang-layang batu (Hirundo tahitica) dan masih banyak lagi.
Berakhir sudah
perjalanan tim Eskpedisi Global 2014 di Taman Nasional Ujung Kulon, dua hari sebelum
kami meninggalkan cidaon, kami melakukan analisis vegetasi di jalur cibom. Saya
mendapatkan tugas untuk mengukur pancang, mulai dari tinggi total, TBC,
diameter, dan data-data lainya. Di cidaon kami hanya menggunakan satu jalur
dalam menganalisis vegetasi, tepatnya di daerah hutan pantai. Tidak seperti di
karang ranjang dan cibunar yang sampai menggunakan tiga sampai empat jalur yang
berbeda. Hal ini, dikarenakan kami kekurangan guide, yang mengetahui beragam
jenis-jenis pohon yang ada di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Karena
sebelumnya tempat pengamatan terakhir tim DKRA (divisi konservasi reptile dan
ampibi) berbeda dengan kami, yaitu di ciramea, sedangkan tim yang lainya di
cidaon. Sehingga guide kami dibagi dua, pak Sarian memimpin jalan menuju
ciramea dengan tim DKRA, sedangkan pak Sumardi bersama kami di cidaon.
Tanggal 17
Agustus 2014, tepat sehari sebelum kami meninggalkan cidaon untuk kembali
menuju Legon Pakis. Kami melakukan Upacara kemerdekaan di pinggir pantai,
dengan kidmat kami mengikuti upacara hari kemerdekaan Indonesia yang ke 69
tahun. Wah, tidak terasa, Negara tercinta ini semakin matang umurnya, semoga
menjadi Negara yang lebih baik, lebih maju, lebih mensejahterakan rakyatnya,
teruntuk warga yang bermukim di kawasan konservasi di seluruh Taman Nasiona di
Indonesia, apalagi saat ini telah terpilih pemimpin bangsa yang baru, semoga
menjadi pemimpin yang amanah selama lima tahun kedepan. Saya sangat berharap
banyak dengan pemerintahan Indonesia saat ini, semoga pemerintah kita lebih
memperhatikan kawasan konservasi, walaupun banyak yang sudah melupakan peran
penting dari hutan, selain sebagai paru-paru dunia, juga sebagai tempat hidup
flora dan fauna yang langka.
Satu hal, yang tak kalah istimewa di tanggal 17 ini adalah pelantikan
anggota baru UKF, saya termasuk di dalamnya, yang baru saja dilantik, meskipun
berstatus lulus bersyarat karena saya masih mempunyai hutang kegiatan
sebelumnya, tetapi saya sangat bangga dan senang sekali, rasanya pendidikan
selama setahun sebelum resmi menjadi anggota, sangat berharga. Banyak hal yang
baru saya ketahui mengenai dunia flora dan fauna. Hemm, saya akan sangat
merindukan pulau indah tempat terakhir badak jawa ini. dengan segala
pengalamnya yang sangat berharga, tumpukan sampah di sepanjang pesisir pantai
yang sangat menghawatirkan, invasi tanaman langkap yang mengancam pakan badak
dan segudang hal yang tidak bisa saya ungkapkan satu persatu. Butiran Pasir
putih yang indah ini, akan menjadi saksi beragam peristiwa alam yang terjadi.
Maka dari itu, sebagai manusia yang berakal dan mempunyai hati nurani, sudah
selayaknya kita melestarikan alam. Dimulai dari hal kecil yang kita lakukan
seperti buang sampah pada tempatnya dan tidak membuangnya di sungai, sangat
berarti dalam menyelamatkan alam kita. Karena hidup itu harus seimbang,
balaslah kebaikan alam dengan kebaikan kecil yang tidak seberapa. Mari jadi
bagian dari penyelamat Bumi. Selamatkan fauna Indonesia !!!......
Bogor
31 August 2014