Selasa, 02 September 2014

Noktah Pasir Putih


Noktah Pasir Putih
Oleh : Dea Ajeng Pratiwi
                Jika anda berjiwa petualang, yang senang menjelajahi alam, menikmati setiap desir angin lembut yang menggoyangkan ikal rambut, dan menghirup nikmatnya udara segar hutan perawan, maka, selain pegunungan, yang wajib dikunjungi adalah Tanam Nasional. Tanam Nasional yang memang secara resmi di lindungi oleh Negara, yang merupakan kawasan konservasi, yaitu tempat paling nyaman bagi satwa-satwa liar dari yang jumlah populasinya masih banyak sampai hampir punah. Salah satunya adalah Tanam Nasional Ujung Kulon yang terletak di ujung barat Pulau Jawa, Provinsi Banten. Di sini, terdapat fauna yang hampir punah, yaitu Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah spesies yang sangat langka dan unik. Dengan penyebaran yang sangat terbatas, saat ini Badak Jawa hanya berada di Taman Nasional Ujung Kulon dan Tanam Nasional Cat Tien Vietnam. Diantara spesies badak di dunia, Badak Jawa merupakan spesies yang paling terancam punah karena jumlah populasi yang kecil dan penyebaranya yang terbatas (BTNUK 1992).
                Menurut Mackinnon at all. (1992) Kawasan ini merupakan Taman nasional yang indah dan unik, terletak di ujung barat Pulau Jawa. Wilayahnya meliputi hutan rawa datar yang luas, dengan dua gunung kecil tertutup hutan hujan tropis yang sangat bagus, dengan beberapa padang rumput pengembalaan, belukar pantai pesisir, karang yang sangat terjal, serta beberapa pulau lepas pantai. Taman Nasional ini dapat dicapai dari Pelabuhan Labuan, dengan perahu atau berjalan kaki ke markas besar Taman Jaya, atau dengan perahu ke pos peristrirahatan di Pulau Handeuleum dan Pulau Peucang.
                Bukan hanya Badak Jawa kawan, masih banyak segudang keindahan alam yang Tuhan berikan pada Taman Nasiona Ujung Kulon ini, apa sajakah itu ? ikuti perjalanan singkat saya dan tim Ekspedisi Global 2014 selama 17 hari di TNUK.
                Siapa yang tidak mengenal Ujung kulon ?, dengan keunikan alam, satwa, dan pantainya, jangankan turis domestik, turis asing pun banyak yang mengunjunginya. Selama 17 hari, saya dan tim Ekspedisi Global 2014, menjelajahi beberapa tempat di kawasan TNUK. Pertama kami mengunjungi Legon Pakis, ini adalah perkampungan warga yang termasuk ke dalam kawasan konservasi, banyak hal yang dapat kita ungkap di kampung yang serba sederhana dan sangat menawan ini. di kampung Legon pakis ini, kita hanya singgah semalam, tepatnya di rumah Pak Sorhim, guide yang senantiasa setia menemani perjalanan Ekspedisi Global selama delapan tahun berturut-turut. Sayangnya kali ini, pak Sorhim tidak dapat menemani kami, tim Ekspedisi Global 2014, karena kepentingan lain, tetapi kami ditemani oleh guide yang tidak kalah serunya, yaitu pak Sarian dan pak Sumardi, mereka berdualah yang memandu kami dari awal sampai akhir.
Keesokan harinya, kami bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju Karang Ranjang. Karang Ranjang merupakan tempat terbaik, dimana kita akan melewati pantai utara menuju pantai selatan. Perbedaannya terlihat menakjubkan, dimana pantai utara yang tenang, ombak berlabuh dengan santai dan desir angin yang menyejukan, sedangkan pantai selatan terlihat lebih menantang, pasir putih nan ayu, ombak yang menggulung tinggi dan angin yang menderu kencang, sensasi ini dapat anda rasakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan, bayangkan jarak dari pantai selatan karang ranjang dengan pantai utara, cukup anda tempuh dalam jarak 1,2 KM saja, menuju laban, anda sudah dapat merasakan pantai utara yang tenang. Selama perjalanan, vegetasi yang terlihat adalah hutan pantai, dimana, pada daerah ini didominansi oleh pohon-pohon kelapa, hutan magrov, dan beberapa liana. Sepanjang perjalanan, kami disambut oleh lantunan indah suara burung-burung semak, dan burung takur, yang paling terdengar jelas adalah Takur Tenggeret (Megalamia australis). Bukan hanya itu saja, sepasang elang ular bido (Spilornis cheela) pun soaring mengucapkan selamat datang kepada tim Ekspedisi Global 2014, wah senangnya.
Hampir selama tiga jam dengan berjalan kaki, Legon Pakis- Karang ranjang berhasil kami tempuh, walaupun beban carrier kami lumayang berat, untuk logistik selama 17 hari. Ketika sampai, suara deburan ombak pantai selatan terdengar kencang, bahkan sebelum kita mencapai resort Karang ranjang. Jarak dari resort tempat kami camp dengan pantai kurang lebih 10 meter saja, sehingga jika waktu senggang, kami sering menyempatkan untuk bersantai menikmati keindahan pasir putih nan ayu dan  tingginya gulungan ombak yang menantang. Selama empat hari tiga malam, kami menginap di resort karang ranjang, dua hari untuk pengamatan, satu hari untuk perjalanan menuju camp berikutnya. Ada empat jalur yang digunakan untuk pengamatan, yaitu jalur laban, jalur ini mengarah ke pantai utara, dengan jarak 1.2 Km saja, jalur yang kedua yaitu jalur kalajetan, jalur ini, menyusuri pantai selatan, dengan vegetasi hutan pantai, sepanjang 1.4 Km saja, yang berujung di kawasan batu karang. Jalur ketiga yaitu legon pakis, jalur ini panjangnya sekitar 2 Km. dan yang terakhir adalah jalur cibandawoh, jalur yang vegetasinya hampir sama dengan jalur kalajetan, yaitu hutan pantai. Selama pengamatan masing-masing divisi sudah berhasil mengamati banyak fauna, seperti divisi saya, yaitu divisi konservasi burung yang berhasil mengamati 40 jenis burung di dua jalur pengamatan dengan dua kali pengulangan.  
Burung yang kami temui sangat beragam, mulai dari burung-burung kecil hingga yang besar, seperti burung  Cabai Bunga Api (Dicaeum trigonostima), Pijantung Kecil (Arachnosthera longirostra), sampai dengan burung besar seperti Rangkong Badak (Buceros rhinoceros), Kangkareng Perut putih (Aceros undulatus), dan Julang Emas (Anthracoceros albirostris). Burung-burung tersebut kami temui di jalur laban dan jalur legon pakis. Akan tetapi ada satu pengalaman yang sangat menarik yang saya alami, yaitu ketika pengamatan di jalur laban, saya beberapa kali berpapasan dengan babi hutan, sensasinya sangat keren, antara ketakutan dan ingin lari, tetapi saya juga penasaran dengan mahluk bertaring tersebut. Selain divisi konservasi burung (DKB), divisi lainpun banyak menemukan jejak mamalia (DKH, DKK, dan DKE) kemudian reptil dan ampibi(DKRA), beragam insekta (DKI), primata (DKP), juga fauna perairan seperti alga dan kima (DKFP). Eit, tunggu itu baru sat tempat, hari keempat, pagi, sekitar jam 07.00 kami melanjutkan perjalanan menuju Cibunar, dengan jalur cibandawoh kemudian sejauh 14 Km kami menyusuri pantai selatan.  
Menyusuri pantai selatan dengan terik matahari yang menemani perjalanan kami, tidak menyurutkan semangat tim Ekspedisi Global 2014, meskipun beban logistik sangat erat menempel di punggung kami, akan tetapi saya dan kawan-kawan menjalaninya dengan santai dan rileks. Bahkan sepanjang menyusuri pantai saya bernyanyi bersama tanpa rasa lelah, jika kami mulai capai, maka kami akan beristirahat sambil memandangi gulungan ombak yang menerjang pasir putih. Sesekali kami sempatkan untuk minum dan membuka makanan ringan sebagai cemilan. Pantai yang masih bersih dan ayu ini membuat saya tergakum akan kehebatan-Nya yang begitu luar biasa tak terhingga, tetapi sayang, dipinggir-pinggir pantai ini terdapat banyak sekali sampah yang terseret arus, mulai dari botol-botol air mineral, serpihan kaca, bongkahan kayu, hingga ratusan pasang sandal dan sepatu yang berwarna-warni. Kagum, melihat betapa indah alam ini, tetapi miris dan ironi, karena kebiasaan buruk kita yang membuang sampah sembarangan, dan beginilah hasilnya, kita memang tidak melihatnya lagi di sekitar rumah kita sampah-sampah tersebut, akan tetapi ia bersarang di tepi pantai-pantai yang seharusnya tak terjamah oleh noktah hitam yang mengerikan. Kadang terbisit dalam benak saya, bagaimana caranya membersihkan sepanjang pantai ini dari ribuan sampah plastik, tetapi percuma saja, jika kita masih membuang sampah ke sungai, yang bermuara di laut, dan akhirnya kembali kedaratan bukan ?. maka dari itu, sebagai warga bumi yang baik, sudah sepatutnya kita bersikap dewasa akan masalah sampah ini, bukan hanya kita yang ingin merasakan kenyamanan, tetapi hewan dan tumbuhanpun juga perlu kenyamanan.  
Sampai di cibunar, kami harus menyebrangi padang pengembala di tepi karang-karangan, padang pengembalaan ini biasanya tempat pengamatan divisi konservasi Herbivor, entah itu rusa, banteng, babi dan mamalia lainya. Macanpun kerap,berkunjung ke padang pengembalaan untuk memangsa banteng ataupun herbivore lainya. kemudian menyebrangi muara dan selamat datang di resort cibunar. Terbayar lunas kelelahan kami menelusup hutan dan menyusuri pantai dengan keindahan alam di resort cibunar, post kecil yang baru saja di renovasi ini, berada tepat di depan karang yang di deru ombak besar dengan angin laut yang kencang. Tamannya tidak terlalu luas, terdapat ayunan dan bale-bale yang menghadap ke laut, “The Best Place for Galau Mode On”. Sewaktu di karang ranjang semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, akan tetapi di cibunar semua orang mempunyai waktu yang luang untuk berlama-lama memandangi deburan ombak dan menikmati hempasan angin yang menampar tubuh. Saya rasa cibunar ini menghipnotis kami dalam kegalauan maksimal, semua keadaanya begitu mendukung kami untuk berlama-lama menikamti keindahan tuhan. Hebatnya lagi, kawan kami, Mas Nangkembon dan Uus, menyusul langsung dari legon pakis menuju cibunar, saya sangat salut dengan kekuatan kaki mereka. Mereka terpaksa menyusul dikarenakan kepentingan lain yang tak bisa mereka tunda.
                Berbeda dengan karang ranjang, di cibunar kami hanya memakai dua jalur pengamatan saja, yaitu jalur sanghyang sirah dan jalur cidaon. Di jalur sanghyang sirah, medanya berbukit-bukit, dan tanjakan yang curam, hanya sedikit dataran, selebihnya adalah tanjankan. panjang transek hanya mencapai 1.5 Km saja. Vegetasi jalur sanghyang sirah didominansi oleh liana dan langkap, beberapa pohon besar dan tutupan hutan yang tidak terlalu rapat. Sedangkan jalur pengamatan cidaon medannya datar, dengan vegetasi semak yang cukup rapat, liana dan langkap serta pepohonan besar yang lebih rapat dari sanghyang sirah. Di jalur sanghyang sirah perjumpaan dengan fauna, entah itu burung ataupun mamalia dan lainya, jarang sekali. Hanya beberapa suara burung-burung semak, seperti pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), keluarga cucak. rangkong badak dan julang emas kerap kali terbang berkelompok diatas jalur pengamatan sanghyang sirah. Gesekan udara dan bulu-bulu sayapnya yang kasar menimbulkan bunyi yang sangat khas, seperti bunyi helicopter, hal ini dikarenakan burung-burung besar seperti rangkong badak, julang emas dan kangkareng perut putih, belum mempunyai bulu-bulu halus pada sayapnya untuk meredam gesekan dengan udara. Meskipun demikian, kami kerap kali berpapasan dengan para peziarah yang akan mengnjungi goa sanghyang sirah, mereka, baik tua maupun muda menempuh jalur ini dengan semangat.
Ada cerita menarik mengenai sanghyang sirah, konon katanya sanghyang sirah ini merupakan tempat bersemayamnya Raden Adnan, yang merupakan anak dari prabu siliwangi, yang telah memeluk agama islam. Diceritakan bahwa sang Raden Adnan berguru pada Sunan Gunung jati, dalam mempelajari agama islam. Tetapi menurut sesepuh di legon pakis, di sanghyang sirah, tidak terdapat makan siapapun, hanya terdapat arca Bima, Semar, Dawala, dan Astrajingga dan dua alirang sungai yang menarik, yaitu aliran air sungai yang bersih dan yang kotor meskipun begitu, aliran sungai tersebut tidak pernah bercampur, tetapi berdampingan, seperti ying dan yang. Terlepas dari mitos-mitos yang beredar, ziarah tujuan sebenarnya adalah mendoakan yang terbaik kepada Alloh, asalkan bukan untuk meminta sesuatu yang bukan-bukan kepada makam ataupun benda-benda yang dikeramatkan, itu menjadikan syirik.
Jalur pengamatan cidaon, lebih sering perjumpaanya dengan satwa, seperti burung Gagak hutan (Corvus enca), Srigunting Batu (Dicrurus paradiseus), bahkan si cantik bersuara merdu Tiong Emas (Gracula religiosa). Bukan hanya burung saja, banyak terdapat jejak kaki, seperti jejak babi, jejak banteng dan jejak badak jawa. Jejak badak jawa ini tampak terlihat segar, ketika pagi hari pada pengamatan hari kedua. Diperkirakan sang badak, melewati jalur cidaon menuju padang pegembalaan ketika subuh, karena malamnya hujan turun dengan lebat, sehingga jejak kaki badak tercetak di tanah dengan jelasnya. Sekitar HM 7, terdapat persimpangan, menuju padang pengembalaan, dan menuju jalur cidaon. Divisi saya, yaitu burung, memilih jalur menuju padang pengembalaan, untuk mengamati merak hijau. Tetapi sayang di hari pertama pengamatan cuacanya tidak terlalu baik, awan mendung daan hujan tak mau berhenti sampai sekitar jam 10 siang. Akhirnya kami hanya sedikit menjumpai satwa, karena merekapun sedang sibuk berlindung dari derasnya air hujan. Tetapi di hari kedua, cuacanya mulai membaik, meskipun setiap malam hujan tetap mengguyur daerah cibunar dengan lebatnya.
Di hari kedua, DKB kembali menyusuri jalur pengamatan cidaon, dan hasilnya lumayan, kami menjumpai banyak burung, seperti meninting besar (Enicurus leschenaulti), raja udang meninting (Alcedo meninting), raja udang punggung merah (Ceyx rufidorsa), cekakak sungai (Todirhamplus chluris), punai pengantin (Treron griseicauda), dan masih banyak lagi. Di padang pengembalaan kami menemukan banyak sekali bongkahan tulang-belulang, diperkirakan tulang dari banteng ataupun rusa yang menjadi mangsa dari sang macan. Terdapat elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster) yang sedang di ganggu oleh gagak hutan ketika kami hendak pulang menuju camp. Sayang sekali, hanya empat hari di cibunar rasanya terlalu cepat, malam terakhir cerah sekali, dengan bermandikan cahaya bulan purnama kami semua menikmati indahnya spot galau terbaik sedunia, karena keesokan harinya, kami harus segera beriap-siap menuju tempat terakhir yaitu cidaon.
Perjalanan menuju cidaon dirasa tidak terlalu berat, karena logistik yang kami bawa sudah hampir menipis, sehingga beban di punggung tidak seberat ketika kami berangkat menuju karang ranjang dan cibunar. Tetapi perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 4 sampai 5 jam ini lumayan melelahkan, karena di tengah-tengah perjalanan, medan yang tdainya datar-datar saja, tiba-tiba berubah menjadi tanjakan yang lumayan curam dan melelahkan. Meskipun tidak seekstrim jalur sanhyang sirah, akan tetapi lumayan menguras tenaga kami. Untungnya hanya beberapa kali tanjakan dan turunan saja, kami kembali menelusuri hutan dengan medan yang datar, dan melewati beberapa aliran sungai. Akhirnya kami sampai di camp terakhir yaitu cidaon. Di cidaon camp kami tidak terlalu dekat dengan pantai seperti cibunar, sekitar 500 sampai 700 meter menuju bibir pantai dari camp. Cidaon termasuk daerah pantai utara, ombaknya yang tenang dengan angin yang lembut, membuat kami menikmati setiap sore sehabis pengamatan di tepi dermaga, Suasanya begitu tenang.
Cidaon, terdapat tiga jalur pengamatan, yaitu jalur pengamatan menuju cibunar, jalur pengamatan cibom dan jalur pengamatan susur pantai. Di jalur pengamatan cibunar kami memasang transek sampai 2 Km, akan tetapi DKB hanya menggunakan 1 Km saja, sayang sekali di jalur ini sangat minim perjumpaanya dengan satwa, divisi saya hanya menemukan burung-burung takur, seperti takur tenggeret (Megalamia australis), dan takur tulumtumpuk (Megalamia javensis), kelaurga cucak (Phygnonotidae), dan keluarga Bucerotidae seperti kelompok julang emas (Anthracoceros albirostris), kangkareng perut putih (Aceros undulates), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros) yang keseluruhan perjumpaanya ketika mereka terbang. Sedangkan jalur cibom, yang menurut saya lumayan banyak perjumpaan dengan satwa meskipun kebanyakan teridentifikasi melalui suara seperti Empuloh janggut (Alophoixus bres), cucak Kuning (Pygnonotus melanicterus), sepasang burung madu sepah raja (Aethopyga siparaja), sepertinya burung madu sepah raja jantan ini tengah menggoda betina, terlihat dari gerak-geriknya yang mencoba menarik perhatian sang betina, wah tampaknya sedang musim kawin. pada jalur cibom kami mendengar suara tiong emas (Gracula religiosa) yang merdu, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya itu saja, yang menarik dari jalur cibom ini kami menemukan tapak badak yang baru saja melintas dan di ujung transek kami juga mengunjungi kuburan badak, menurut pak sumardi selaku guide, sekitar 3 sampai 4 bulan yang lalu, ia menemukan mayat badak di tepi pantai yang sudah setengah membusuk, dan berbau tajam. Dengan hebatnya pak sumardi menyeret bangkai badak itu sekitar 6 sampai 7 meter dari bibir pantai agar bisa menguburkannya lebih dalam. Akan tetapi saat ini tulang-belulang dari badak tersebut telah dikirimkan ke deparetemen kehutanan di Jakarta, guna mengantisipasi adanya pencurian oleh para pemburu nakal, dan dijadikan sebagai bahan penelitian lebih lanjut. Mengapa jalur ini bernama cibom ? ternyata terdapat sejarah yang menarik di balik penamaan jalur cibom ini, sewaktu jaman  penjajahan belanda, pada jalur ini terdapat gudang yang berisikan amunisi bom-bom yang siap dipakai untuk perang, sampai saat ini warga legon pakis dan sekitarnya masih mempercayai bahwa gudang bom itu sewaktu-waktu dapat meledakan ujung kulon.
Jalur yang terakhir adalah jalur pengamatan susur pantai, jalur ini mengarah menuju muara, panjang transek hanya 1.2 km saja. Dimuara ini terdapat penghuni berbahaya, yaitu buaya muara, yang berbadan kecil, dan bermocong panjang. Sepanjang jalur susur pantai, DKB berhasil menemukan beberapa jenis burung yang belum pernah ditemui pada tahun-tahun penelitian sebelumnya yaitu burung Pelatuk Hijau (Picus vittatus), pekaka emas (Pelargopsis capensis) yang sedang terbang, kelompok wallet linci (Collocalia linchi), sepasang cucak kuning (Pycnonotus melanicterus), beberapa layang-layang batu (Hirundo tahitica) dan masih banyak lagi.
Berakhir sudah perjalanan tim Eskpedisi Global 2014 di Taman Nasional Ujung Kulon, dua hari sebelum kami meninggalkan cidaon, kami melakukan analisis vegetasi di jalur cibom. Saya mendapatkan tugas untuk mengukur pancang, mulai dari tinggi total, TBC, diameter, dan data-data lainya. Di cidaon kami hanya menggunakan satu jalur dalam menganalisis vegetasi, tepatnya di daerah hutan pantai. Tidak seperti di karang ranjang dan cibunar yang sampai menggunakan tiga sampai empat jalur yang berbeda. Hal ini, dikarenakan kami kekurangan guide, yang mengetahui beragam jenis-jenis pohon yang ada di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Karena sebelumnya tempat pengamatan terakhir tim DKRA (divisi konservasi reptile dan ampibi) berbeda dengan kami, yaitu di ciramea, sedangkan tim yang lainya di cidaon. Sehingga guide kami dibagi dua, pak Sarian memimpin jalan menuju ciramea dengan tim DKRA, sedangkan pak Sumardi bersama kami di cidaon.
Tanggal 17 Agustus 2014, tepat sehari sebelum kami meninggalkan cidaon untuk kembali menuju Legon Pakis. Kami melakukan Upacara kemerdekaan di pinggir pantai, dengan kidmat kami mengikuti upacara hari kemerdekaan Indonesia yang ke 69 tahun. Wah, tidak terasa, Negara tercinta ini semakin matang umurnya, semoga menjadi Negara yang lebih baik, lebih maju, lebih mensejahterakan rakyatnya, teruntuk warga yang bermukim di kawasan konservasi di seluruh Taman Nasiona di Indonesia, apalagi saat ini telah terpilih pemimpin bangsa yang baru, semoga menjadi pemimpin yang amanah selama lima tahun kedepan. Saya sangat berharap banyak dengan pemerintahan Indonesia saat ini, semoga pemerintah kita lebih memperhatikan kawasan konservasi, walaupun banyak yang sudah melupakan peran penting dari hutan, selain sebagai paru-paru dunia, juga sebagai tempat hidup flora dan fauna yang langka.
Satu hal, yang tak kalah istimewa di tanggal 17 ini adalah pelantikan anggota baru UKF, saya termasuk di dalamnya, yang baru saja dilantik, meskipun berstatus lulus bersyarat karena saya masih mempunyai hutang kegiatan sebelumnya, tetapi saya sangat bangga dan senang sekali, rasanya pendidikan selama setahun sebelum resmi menjadi anggota, sangat berharga. Banyak hal yang baru saya ketahui mengenai dunia flora dan fauna. Hemm, saya akan sangat merindukan pulau indah tempat terakhir badak jawa ini. dengan segala pengalamnya yang sangat berharga, tumpukan sampah di sepanjang pesisir pantai yang sangat menghawatirkan, invasi tanaman langkap yang mengancam pakan badak dan segudang hal yang tidak bisa saya ungkapkan satu persatu. Butiran Pasir putih yang indah ini, akan menjadi saksi beragam peristiwa alam yang terjadi. Maka dari itu, sebagai manusia yang berakal dan mempunyai hati nurani, sudah selayaknya kita melestarikan alam. Dimulai dari hal kecil yang kita lakukan seperti buang sampah pada tempatnya dan tidak membuangnya di sungai, sangat berarti dalam menyelamatkan alam kita. Karena hidup itu harus seimbang, balaslah kebaikan alam dengan kebaikan kecil yang tidak seberapa. Mari jadi bagian dari penyelamat Bumi. Selamatkan fauna Indonesia !!!......
Bogor 31 August 2014