“Aku berharap
Ayahku mati” ujarku dengan nada yang datar dan dingin. Tatapanku lurus
menerawang, “aku juga akan bahagia jika aku menjadi seorang yatim” tambahku
dengan senyum sinis, “a pa yang menjadi dasar engkau mengatakan hal itu nak?”
tanya wanita dihadapanku dengan hati-hati, “hatiku, rasaku, jiwaku terhadapnya
telah mati” sahutku dengan datar, entahlah apa sekarang aku sudah jadi anak durhaka
? apa aku sudah membuat dosa yang sangat besar ? apa aku akan masuk neraka ?
aku sungguh tak perduli, biarlah aku di cap oleh seluruh warga dunia, bahkan
para malaikat sedikitpun aku tak perduli, wanita dihadapanku kini tercengang
menatapku penuh dengan tanda tanya. “apa yang kau-“ kalimatanya segera kupotong
“aku tidak perduli, apa pun yang akan kau katakan padaku, aku tidak butuh nasihatmu,
tentang orang tua, dalilnya, ataupun segala yang berhubungan dengan orang tua,
aku sama sekali tidak perduli” tuturku dengan menatapnya tajam. “aku hanya
ingin kau mendengarkan apa yang akan kuceritakan padamu, tanpa harus memberi
komentar bahkan solusi untukku” jelasku dengan sinis, sungguh aku hanya ingin
bercerita saja aku tidak membutuhkan solusi atau apalah itu, aku hanya tidak
ingin kehilangan gravitasi kehidupanku dan tertarik oleh black hole. Biarpun
aku dianggap aneh bahkan mungkin dianggap tak wajar oleh teman-temanku, aku tak
perduli. Yang terpenting adalah aku masih waras dan aku masih bisa menjalani
hidupku, hanya itu.
Wanita yang berada di hadapanku
adalah guru bp, entah bagaimana guru ini mencurigaiku sejak pertama masuk SMA,
bu Ningrum namanya, orangnya manis, mempunyai perawakan tinggi pepat, wajahnya
putih bersih, mungkin menggunakan kosmetik pemutih yang tidak berkwalitas,
terbukti terdapat bercak hitam diantara pipinya yang cabi. Mudah sekali
dikenali karena saat ini kosmetik tersebut populer dikalangan ibu-ibu, walaupun
resikonya berbahaya. Ia memakai kaca mata tebal, dan berkerudung. Hampir enam
bulan ia mencoba mendekatiku, dan sekarang ia berhasil membawaku masuk
kerruangan yang di anggap “keramat” oleh seluruh siswa. Ia menanyakan mengapa
aku tak pernah bergabung dengan teman-teman yang lainnya, apa aku pemalu ? apa
aku punya musuh ? atau masalah keluarga ? pertanyaan konyol yang membuat
kupingku berdenging adalah pertanyaan terakhir, lalu aku mengakui bahwa memang
saat ini itulah masalahku, ahhkk bukan saat ini saja, akan tetapi selama
hidupku ini. ”baiklah nak, ibu akan dengar semua keluhanmu, apapun itu ibu siap
mendengarkan, katakanlah apa yang menjadi masalahmu, ibu tidak akan berkomentar
apapun sebelum engkau selesai” ujarnya dengan ekspresi yang meyakinkan
“baiklah, memang itu yang yang aku harapkan” tuturku sebelum kuawali
ceritahidupku,aku mencoba tegar, tuk berbagi demi keseimbangan gravitasi
hidupku, kuhembuskan napas yang panjang dan sesak ini. “entahlah , harus dari
mana memulainya, yang jelas aku membenci keluargaku, terutama ayahku,
sebenarnya untuk memanggilnya dengan sebutan ayah saja, sudah membuatku hancur,
dan itu sangatlah menyulitkan, aku berharap ia mati dan pergi dari kehidupan
dunia ini, karena aku tak menginginkanya, aku juga berharap tak pernah
dilahirkan dalam keluarga ini, namun waktu dan takdir tak dapat di ubah,
segalanya memang harus seperti ini.”
“sungguh aku membenci ayahku,
sampai matipun aku akan tetap membencinya, aku tahu semua orang akan
menganggapku sebagai anak paling durhaka, dan mungkin aku di cap masuk neraka. Semua itu hanya akan
menjadi angin lalu, mereka boleh saja mencaci, memaki, dan mengumpatku, tetapi
mereka tak tahu bagaimana dengan perasaanku, hatiku, dan juga hidupku, mereka
tak pernahberpikir ke arah itu, aku merasa pantas berbicara seperti ini, pantas
sekali, karena aku merasa lelah terus menerus bersandiwara di hadapan orang
lain, ingin sekali aku menunjukan siapa diriku sebenarnya, karena aku tidak
mungkin selamanya hidup dalam kemunafikan.”
“harapanku telah hancur, tak ada
yang tersisa untuk orang yang kupanggil ayah, aku menganggap ia sudah mati, dan
akan semakin indah bila itu sampai terjadi. Entah sampai kapan ibuku bertahan
dalam rumah itu, aku selalu mendorongnya untuk pergi ke meja hijau, aku tak
ingin melihatnya terus menerus terluka, seandainya luka itu kasat mata, ku rasa
tumpukan lukanya sudah membusuk, akan tetapi ibu selalu membela ayah, ibu
selalu mengatakan bahwa baik buruknya dia tetaplah ayahmu, aku benci
mendengarnya, aku sangat benci” ujarku panjang lebar, aku mulai terisak,
tangisku buyar seketika, garis pertahananku jebol seketika, kuusap kedua
pipiku, bersiap melanjutkan kisah ini, “baik aku dan adiku, sama-sama terluka,
teraniaya, kami tidak menderita luka fisik akan tetapi batik kami !!!, yang aku
takutkan sekarang adalah adiku, bagaimana jika ia berumah tangga kelak ?
bagaimana jika ia menuruti sifat ayahku ? bagaimana ?”
“Ayahku adalah seorang pengaguran,
sebenarnya kami membuka klinik dirumah, sayangnya klinik kami terkadang sepi.
Sedang Ayah hobi memancing dan berjudi, yang membuat keluarga kami terlilit
banyak hutang. Aku lelah terus menerus belajar prihatin, bersabar. Melihat
tingkah ayah yang santai dan lambat dalam merespon masalah kami, membuatku muak
melihanya.”
“Hal yang paling aneh adalah
ayahku selalu memaki, mencaci, mengumpat bahkan tak jarang ancaman akan
membunuh kami terlontar dari mulutnya yang kotor. Ayah paling tidak suka bila
melihat kamimenangis, padahal yang menyebabkan kami menangis ia sendiri. Ia
begitu sombong dengan kemampuan yang ia miliki, seakan tak ada seorangpun di
dunia ini yang lebih hebat darinya. Seringkali jika kami tak tahu apakah esok
akan makan atau tidak, ia berani mengumpat tuhannya sendiri. Banyak sekali
musuh disekitarnya, pantas saja ia di benci oleh banyak orang, aku sendiri
sebagai anaknya berharap ia lenyap.”
“pernah ibu bercerita tentang
masa lalu ayah, ibu bilang ayah tumbuh dalam balutan kekerasan dan kedisiplinan
yang tinggi, kakek adalah orang yang paling ayah takuti, bahkan ayah pernah
dikejar-kejar kakek dengan pedang tajam, hari-hari ayah dilalui dengan siksaan,
keluarganya tidak harmonis.”
“Namun apa pantas sekarang ia
melampiaskan dendamnya pada kami ? apa dia tolol ? bukankah ia tersakiti dengan
perlakuan kakek terhadapnya ? ia lupa bahwa aku, adiku, dan ibuku membencinya
lebih dari apapun! Dasar bodoh ! kenapa aku harus mempunyai ayah seperti dia
!!! aku berharap tuhan mendengarkan segala doaku. Aku tidak akan pernah
menyesal, karena bagiku ia bagai benalu dalam hidupku.”
“Aku selalu dikekang olehnya, ia
terlalu posesif, sayangnya aku selalu terkena semburan caci maki, bukannya
petuah.”
“Aku ingin sekali seperti orang
lain, sosok ayah yang selalu diidolakan, ayah yang penyayang, ayah yang
membimbing anak-anaknya, ayah yang-“ paparku panjang lebar serapa mengusap ke
dua pipiku. “Aku seperti orang bodoh yang berjalan di atas bara api, walaupun
aku tahu kakiku terbakar, tetap saja aku melangkah diatasnya. Entah bagaimana,
masalah ini telah menghilangkan sebagian hidupku” jelasku seraya membuang muka,
mataku pedih, rasanya air mataku hanya terbuang sia-sia.
“Aku rasa semuanya terbuka jelas
di mata ibu akan aku yang sebenarnya, terimakasih banyak” akupun berlalu dengan
santainya. Atmosfer di ruangan ini begitu sesak, membuatku sulit bernapas.
Kulangkahkan kaki ini secara perlahan menuju pintu gerbang, adasedikit kelegaan
yang kurasakan, aku menengadah ke atas langit yang mulai meredup digantikan
sinar rembulan.
“teetttttttttttt” ponselku
bergetar lembut, menyadarkanku dari lamunan kosong, kulihat pesan singkat dari
adiku, “ka pulang dirumah sedang gawat”
aku hanya menyeriangai tajam.
Rumahku tampak ramai dari
kejauhan, dan banyak sekali orang yang berkerumun di depan mulut pintu, tanpa
ambil pusing aku melanjutkan langkah yang tinggal 2 meter lagidari tempatku
berpijak. Mataku menatap nanar bendera kuning di depan pagar, “va, sabar yaa,
ini semua cobaan ya,” ujar salah seorang di dekatku. Aku terpaku, siapa ? siapa
? tiba-tiba adiku berlari menghamprir dengan mata yang sembab, “Ka-ka,….” Sapa
adiku dengan terbata, “siapa ? siap ? ibu ?” tanyaku penasaran, cengkraman
tanganku semakin kuat pada lengan adikku, “bu-bukan ka, tapi ayah ka, ayah
kaaa” sahutnya seraya tertunduk menahan tangisnya. Seketika rasa penasaranku
padam, bahkan mataku kering tak berair, bukankah ini yang aku inginka ? inkah ?
melihatnya terbaring kaku tak bernyawa ?. pertanyaan itu terus berputar didalam
kepalaku. “kaka, kenapa tidak menangis ? kaka gak sedih ya ?” tanya adiku
polos, aku menatapnya datar lalu tersenyum masam. “apa penyebabnya ?” tanyaku
sinis, “katanya terkena serangan jantung kaa,” guman adikku pelan, lebih pada
diri sendiri. Dengan santai aku beranjak masuk ke dalam rumah, “sabar ya ka”
ujar pamanku lirih, aku terdiam, tetap melanjutkan langkahku, sekilas kulihat
tubuh itu terbaring kaku, dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya, “apa kaka
mau melihat ayah untuk yang terakhir kalinya ?” tanya nenekku dengan suara yang
parau, aku tak bergeming . Aku melanjutkan langkaku menuju kamar,tanpa sadar
aku tersenyum kecil.
Pemakaman ayah berjalan dengan
lancar, seluruh keluarga besar datang untuk memberikan penghormatan terakhir,
aku tetap tak bergeming, bahkan aku masih memasang tampang datar. “kenapa kaka
tidak menagis ? apa kaka tidak bersedih untuk ayah ?” tanya bibiku tajam, “apa
harus setiap kesedihan diperlihatkan dengan cara menangis ?” tanyaku sinis.
Sebelum bibiku menjawab, aku telah melangkahkan kakiku.
Aku berjalan, menatap indahnya
langit malam, di rumah sedang diadakan tahlilan untuk almarhum ayahku. Inilah
yang aku harapkan, tuhan mendengarnya, semakin membuatku yakin bahwa setiap
perkataan adalah doa, yang akan terkabul, entah sekarang, esok, ataupun nanti.
Bogor,
11 April 2012
Dea Ajeng
Pratiwi